Loading...
Kelas 10 Kurikulum MerdekaKurikulum MerdekaPAI Kelas 10 Kurikulum MerdekaSMA Kurikulum Merdeka

Rangkuman Materi PAI Kelas 10 Bab 10 Kurikulum Merdeka

PAI Kelas 10 Bab 10 Kurikulum Merdeka

PAI Kelas 10 Bab 10 Kurikulum Merdeka

Halo adik-adik berjumpa lagi di Portal Edukasi.

Pada kesempatan sebelumnya Admin telah membagikan Rangkuman Materi PAI Kelas 10 Bab 9: Menerapkan al-Kulliyatu al-Khamsah dalam Kehidupan Sehari-hari

Nah pada materi kali ini akan membahas tentang Rangkuman Materi PAI Kelas 10 Bab 10: Peran Tokoh Ulama dalam Penyebaran Islam di Indonesia

Yuk mari disimak!

KURIKULUM MERDEKA

Rangkuman PAI Kelas 10 Bab 10

Peran Tokoh Ulama dalam Penyebaran Islam di Indonesia

 

Awal Mula Penyebaran Islam di Indonesia

Sumber sejarah dari Dinasti Tang pada tahun 674 Masehi memberikan petunjuk bahwa memang pada masa-masa awal pertumbuhan Islam, saudagar-saudagar muslim dari Arab sudah memasuki wilayah Nusantara.

Dorongan kuat bagi saudagar-saudagar Arab pada masa-masa awal Islam untuk menyebarkan Islam sampai ke wilayah Nusantara tersebut didorong oleh hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi:

hadis perintah berdakwah

 

Karena kedatangan saudagar-saudagar muslim sejak tahun 674 M tersebut, ternyata belum diikuti dengan penyebaran Islam secara massif di kalangan penduduk pribumi, hingga munculnya para penyebar Islam di tanah Jawa yang dikenal dengan sebutan Wali Songo.

Dalam mengembangkan ajaran Islam di bumi Nusantara para wali memulai dengan beberapa langkah strategis yaitu:

  • Tadrij (bertahap)
  • ‘Adamul Haraj (tidak menyakiti)

 

Dakwah Islam Periode Pra Wali Songo

Nah sebelum masuk ke materi Wali Songo, mari kita pelajari dulu awal mulanya banget ya. Sedikit flashback.

Awal mulanya ada dua teori yang menyebutkan tentang kedatangan Islam di Nusantara, yaitu:

  • Dari pedagang Arab
  • Dari Persia

Dari pedagang Arab, Islam masuk ke Indonesia pada pertengahan abad ke-7 berdasarkan buku The Golden Kersonese: Studies in the Historical Geography of The Malay Peninsula Before A.D. 1500, karya P. Wheatley.

Pada abad ke-7 di masa kekuasaan Ratu Simha datangnya para pedagang Arab diberitakan cukup banyak oleh sumber-sumber dari Dinasti Tang di Cina.

Kemudian dalam Islam Comes to Malaysia, S.Q. Fatimi menuliskan bahwa pada abad ke-10 Masehi telah terjadi migrasi keluarga yang berasal dari bangsa Persia, yaitu:

  • Keluarga Lor
  • Keluarga Jawani
  • Keluarga Syiah
  • Keluarga Rumai

Nah namun terjadi permasalahan tentang sejarah ini yaitu dalam kurun waktu berabad-abad kemudian, tidak ditemukan bukti tentang pernah dianutnya Islam secara luas di kalangan penduduk Nusantara.

Pertanda yang muncul, justru terjadinya semacam penolakan dari penduduk setempat tentang upaya-upaya penyebaran Islam yang mereka lakukan.

Dan baru kemudian pada abad ke-15, yaitu masa dakwah Islam yang dipelopori oleh tokoh-tokoh sufi yang dikenal dengan sebutan Wali Songo, Islam dapat diterima dan diserap ke dalam asimilasi dan akulturasi budaya Nusantara.

Jadi jelas ya asal usul mulanya Wali Songo.

 

Sejarah Dakwah Islam Masa Wali Songo

Dalam buku Sekitar Wali Songo yang dituliskan oleh Solichin Salam, Wali Songo berasal dari Wali dan Songo.

Kata wali berasal dari bahasa Arab, suatu bentuk singkatan dari kata waliyullah, yang artinya adalah ‘orang yang mencintai dan dicintai Allah Swt.’

Sedangkan kata songo yang merupakan bahasa Jawa yag berarti ‘sembilan’.

Kemudian ada pendapat menurut Prof. K.H. R. Moh. Adnan, kata Wali Songo merupakan perubahan atau kerancuan dalam pengucapan kata sana yang berasal dari kata tsana (mulia) yang serupa dengan kata terpuji, sehingga menurutnya pengucapan yang benar adalah Wali Sana yang berarti wali-wali yang terpuji.

Sehingga kesimpulannya Wali Songo berarti Wali Sembilan yakni sembilan orang terpuji yang dicintai dan mencintai Allah Swt.

Dalam berbagai catatan sejarah di Jawa, tokoh-tokoh Wali Songo diasumsikan sebagai tokoh waliyullah sekaligus sebagai waliyul amri, yaitu orang-orang yang dekat dengan Allah Swt., terpelihara dari kemaksiatan (waliyullah) dan juga orang-orang yang memegang kekuasaan atas hukum kaum muslimin, pemimpin, yang berwenang memutuskan dan menentukan perkara di masyarakat, baik dalam hal keduniawian maupun dalam hal keagamaan (waliyul amri).

Adapun gelar Sunan berasal dari kata suhun-kasuhun-sinuhun, yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti menghormati, menjunjung tinggi, lazimnya digunakan untuk menyebut guru suci (mursyid thariqah).

Wali Songo menjadi tokoh yang sangat penting di kalangan masyarakat muslim Jawa karena ajaran yang mereka bawa merupakan ajaran yang unik, sosoknya yang menjadi teladan dan ramah kepada siapa pun, sehingga mereka mempermudah menyebarkan ajaran Islam di wilayah Nusantara.

Metode yang dipergunakan untuk penyebaran agama Islam di Jawa, dilakukan oleh para wali dengan memanfaatkan budaya lokal yang berkembang saat itu.

Seperti halnya wayang, tembang-tembang atau syair Jawa, gamelan atau alat musik Jawa serta upacara-upacara adat yang dipadukan dengan unsur-unsur ajaran Islam.

Para wali memasukkan nilai-nilai dan ajaran agama ke dalam berbagai unsur budaya tersebut, sehingga dari yang sebelumnya masih bernuansa ajaran Hindu-Budha, maka terjadilah asimilasi dan akulturasi budaya dengan ajaran Islam yang menghasilkan harmonisasi dan keserasian.

Nah masih ingatkah kalian Wali Songo itu siapa saja?

Adapun Sembilan orang wali yang diyakini masyarakat sebagai Wali Songo adalah:

  • Sunan Gresik
  • Sunan Ampel
  • Sunan Bonang
  • Sunan Drajat
  • Sunan Kalijaga
  • Sunan Kudus
  • Sunan Muria
  • Sunan Gunung Jati
  • Sunan Giri

Untuk potret mereka bisa kalian lihat disini ya:

wali songo

 

Metode Dakwah Wali Songo

Sebelumnya sudah disinggung sedikit tentang metode dakwah dari Wali Songo, namun disini kita akan membahas lebih jelas ya metode-metode yang mereka gunakan.

Berikut ini merupakan beberapa strategi dan metode dakwah yang penuh dengan kedamaian yang ditempuh oleh Wali Songo, yaitu:

  • Ceramah
  • Tanya Jawab – Diskusi
  • Keteladanan
  • Pendidikan
  • Bi’tsah dan Ekspansi
  • Kesenian
  • Silaturrahim

 

Wali Songo dan Pembentukan Masyarakat Islam di Nusantara

Setiap Wali Songo berasal dari daerah berbeda-beda dan memiliki karakteristik tersendiri dalam menyebarkan agama Islam.

Nah mari kita pelajari lebih jauh ya setiap Wali Songo tersebut 🙂

 

Sunan Gresik

Sunan Gresik memiliki nama asli Maulana Malik Ibrahim.

Maulana Malik Ibrahim adalah seorang ulama yang berasal dari Arab dan datang ke Gresik pada tahun 1404 M.

Kerajaan yang berkuasa pada saat era dakwah Maulana Malik Ibrahim adalah Kerajaan Majapahit yang kebanyakan masyarakatnya masih menganut ajaran Hindu atau Budha.

Seperti yang kita tahu bahwa Hindu dan Budha memiliki tingkatan Kasta di masyarakat.

Tentu saja dalam Islam tidak dikenal istilah Kasta tersebut, oleh karenanya Sunan Gresik berusaha untuk melakukan perubahan, kembali ke jalan yang benar yaitu tidak ada yang membedakan derajat satu orang dengan orang yang lain melainkan ketakwaannya kepada Allah Swt.

Ya bukan perkara mudah sih ya guys, beliau melakukan pendekatan kepada masyarakat melalui pergaulan yang ditunjukkan dengan keramah-tamahan dan kehalusan budi pekertinya.

Tentu saja dimulai dengan kalangan orang-orang yang tersisih karena perbedaan kasta tersebut, beliau memperkenalkan Islam melalui adab dan perilaku maupun informasi yang di sampaikan kepada masyarakat sehingga sering terjadi kajian yang panjang dan mengasikkan.

Setelah berhasil memikat hati masyarakat, kemudian dengan cara dagang kepada masyarakat luas bahkan sampai ke para bangsawan.

Setelah aktivitas dagang ini lancar, beliau pergi ke Trowulan, ibukota kerajaan Majapahit untuk bertemu Raja.

Yaa walaupun Raja tidak berkenan masuk Islam, tapi disambut baik loh!

Bahkan beliau diberikan sebidang tanah di daerah pinggiran Gresik yang sekarang dikenal dengan Desa Gapura.

Disana deh beliau dapat izin untuk menyiarkan agama Islam sampai akhir hayat beliau pada tahun 1419.

 

Sunan Ampel

Sunan Ampel memiliki nama asli Raden Rahmat.

Beliau merupakan putra dari Sunan Gresik, sedangkan ibunya bernama Dewi Candrawulan.

Sunan Ampel hidup pada zaman Majapahit yang mengalami kemunduran drastis pasca ditinggal wafat Maha Patih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk.

Sunan Ampel mengenalkan ajaran yang sangat berkaitan dengan kebiasaan masyarakat kala itu, yaitu ajaran Moh Limo.

Moh Limo berasal dari bahasa Jawa yaitu emoh (tidak mau) dan limo (lima).

Nah apa saja lima hal tersebut?

Lima hal tersebut yaitu:

  • Moh main yaitu tidak mau berjudi, mengundi nasib dan memasang taruhan
  • Moh ngombe yaitu tidak mau mabuk, minum-minuman keras dan mengkonsumsi arak/tuak.
  • Moh maling yaitu tidak mau mencuri dan mengambil barang yang bukan miliknya.
  • Moh madat yaitu menolak untuk merokok, menggunakan narkotika dan hal-hal lain yang memabukkan
  • Moh madon yaitu menolak untuk bermain perempuan yang bukan istrinya.

Sunan Ampel menyampaikan ajaran tersebut dengan cara yang lembut dan tanpa paksaan, tanpa kekerasan dan semua aktivitas dakwahnya dilakukan dengan cara ‘mengundang’ bukan dengan ‘menyuruh’.

 

Sunan Bonang

Nama asli Sunan Bonang adalah Raden Makdum Ibrahim.

Sunan Bonang merupakan putra dari Sunan Ampel dengan istrinya Dewi Candrawati.

Nama Sunan Bonang diberikan kepadanya karena salah satu media yang beliau pergunakan untuk berdakwah adalah menggunakan alat musik tradisional yaitu gamelan, dan salah satu instrument musiknya bernama bonang.

Sunan Bonang memanfaatkan salah satu alat musik tradisional yang ada di Jawa Timur yaitu bonang yang merupakan salah satu instrumen dalam set gamelan Jawa.

Sunan Bonang dianggap memiliki kreatifitas dan daya seni yang luar biasa karena selain memainkan alat musik ia juga berdakwah.

Kreatifitas permainan bonang yang dilakukan oleh Sunan Bonang juga dipadukan dengan kepandaiannya menyusun syair-syair yang beliau masukkan ajaran-ajaran dakwah untuk menanamkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat.

Nah syair-syair tersebut dikenal dengan istilah Suluk.

Di antara suluk Sunan Bonang yang masih terkenal sampai saat ini adalah Suluk Tombo Ati yang syairnya adalah sebagai berikut:

Tombo ati, iku limo ing wernane, kaping pisan maca Qur’an lan maknane, kaping pindho, salat wengi lakono, kaping telu wong kang saleh kumpulono. Kaping papat, kudu weteng ingkang luwe, kaping limo dzikir wengi ingkang suwe. Salah sawijine, sopo biso nglakoni, insya Allah, Gusti Allah nyembadani’

Yang artinya:

“Óbat hati, ada lima perkaranya, yang pertama baca Qur’an dan maknanya, yang kedua salat malam dirikanlah, yang ketiga berkumpullah dengan orang saleh. Yang keempat perbanyaklah berpuasa, yang kelima zikir malam perpanjanglah. Salah satunya, jika kita menjalani, moga-moga Gusti Allah mencukupi”.

 

Sunan Drajat

Sunan Drajat adalah salah satu putra dari Sunan Ampel, dan merupakan saudara dari Sunan Bonang.

Nama asli Sunan Drajat adalah Raden Qosim atau juga dikenal dengan nama Syarifuddin.

Sunan Drajat melakukan dakwah dengan cara berpindah-pindah daerah, dimulai dari pantai utara Jawa dengan metode Dakwah secara langsung.

Sunan Drajat mendarat pertama kali di wilayah Jelak, Banjarwati pada akhir abad ke-15.

Disana beliau membangun Musala untuk beribadah dan dakwah, yang kemudian berkembang menjadi Pesantren sebagai lembaga pendidikan.

Desa Banjarwati kemudian menjadi semakin ramai dan berubah nama menjadi Banjaranyar.

Setelah dirasa masyarakat di Banjaranyar cukup mapan dengan nilainilai dan praktik ajaran Islam beliau kemudian melanjutkan perjalanan ke sebuah desa yang disebut Drajat.

Lalu melanjutkan perjalanan ke Lamongan.

Metode dakwah yang ditempuh oleh Sunan Drajat adalah dengan cara yang bijak dan halus.

Sunan Drajat memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara yang bijak dan tidak memaksa.

Dalam menyampaikan ajarannya ia menemput empat cara yaitu:

  • Pengajian secara langsung di langar atau musala
  • Penyelenggaraan pendidikan di pesantren
  • Memberikan nasihat dan fatwa untuk penyelesaian sebuah masalah
  • Melalui kesenian tradisional yaitu melalui tembang pangkur (pangudi isine Qur’an/mendalami makna Al-Qur’an) dengan iringan gending gamelan.

Adapun inti dari ajaran Sunan Drajat adalah Catur Piwulang (Empat Pengajaran) yaitu:

  • Paring teken marang wong kang kalunyon lan wuto (memberikan tongkat kepada orang yang buta)
  • Paring pangan marang wong kang kaliren (memberi makan kepada orang yang kelaparan)
  • Paring sandhang marang wong kang kawudan (memberi pakaian kepada orang yang telanjang)
  • Paring payung marang wong kang kodanan (memberikan payung kepada orang yang kehujanan)

 

Sunan Kudus

Sunan Kudus memiliki nama asli Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan.

Ayahnya adalah Sunan Ngudung dan ibunya bernama Syarifah.

Jika diurutkan nasabnya, Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad Saw.

Sejak kecil Sunan Kudus dipanggil dengan nama Ja’far Shadiq.

Memang sudah sejak kecil beliau bercita-cita untuk menjadi juru dakwah dan menyebarkan ajaran Islam.

Beliau berhasil berdakwah kepada masyarakat Hindu-Budha yang saat itu sangat kuat keyakinannya.

Metode dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kudus adalah mengadopsi cara-cara yang telah dilakukan sebelumnya oleh Sunan Bonang.

Nah secara singkat metodenya yaitu:

  • Tidak menggunakan jalan kekerasan atau radikalisme untuk mengubah masyarakat yang masih taat dengan kepercayaan lamanya
  • Jika ada tradisi yang buruk di masyarakat Sunan Kudus berusaha merubahnya dengan pelan-pelan.
  • Mengembangkan prinsip tutwuri handayani dan berkembang menjadi tutwuri hangiseni
  • Tidak melakukan perlawanan dan konfrontasi langsung terhadap tindak kekerasan
  • Berusaha menarik simpati masyarakat agar tertarik dengan ajaran Islam

Selain menyampaikan ajaran dakwah kepada umat Hindu-Budha, Sunan Kudus juga memperluas ajakannya kepada masyarakat yang masih menganut kepercayaan lokal yaitu animisme dan dinamisme.

Nah disini ada yang unik nih.

Beliau membangun pancuran wudu di Masjid Menara Kudus yang dibangunnya dengan jumlah 8 (delapan) pancuran, dan di setiap atas pancuran diletakkan arca.

Sunan Kudus memahami bahwa ada 8 (delapan) ajaran pada agama Budha yang dikenal dengan Asta Sanghika Marga, yaitu:

  • Memiliki pengetahuan yang benar
  • Mengambil keputusan yang benar
  • Berkata yang benar
  • Bertindak yang benar
  • Hidup dengan cara yang benar
  • Bekerja dengan benar
  • Beribadah dengan benar
  • Menghayati agama dengan benar

Pola pendekatan semacam inilah yang mendatangkan simpati dan ketertarikan masyarakat untuk mempelajari Islam.

 

Sunan Giri

Nama asli dari Sunan Giri adalah Raden Paku dan memiliki nama panggilan lain yaitu Ainul Yaqin.

Ayahnya bernama Maulana Ishaq (saudara kandung Maulana Malik Ibrahim/ Sunan Gresik) dan ibunya adalah seorang putri yang bernama Dewi Sekardadu.

Beliau membuka pesantren di daerah perbukitan Sidomukti, di selatan Gresik.

Dalam bahasa Jawa, bukit adalah ‘giri’, nah jadi disebut dengan Sunan Giri.

Uniknya pesantren ini tidak hanya dipergunakan untuk lembaga pendidikan saja namun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut dengan Giri Kedaton.

Kok bisa? Karena Raja Majapahit khawatir jika Sunan Giri akan merancang pemberontakan di pesantren tersebut, jadinya malah dikasih keleluasaan untuk mengatur pemerintahan.

Pengaruh Sunan Giri ini tidak hanya di Pulau Jawa saja ya guys ya.

Pengaruh Sunan Giri bahkan sampai keluar pulau Jawa, seperti Makassar, Ternate dan Tidore.

Bahkan konon raja-raja di daerah tersebut, belum dianggap sah jika belum direstui oleh Sunan Giri.

Keren ya!

Nah terkait metode dakwah beliau, dilakukan dengan berbagai metode, mulai dari pendidikan, budaya hingga pendekatan politik.

Di kalangan Wali Songo, Sunan Giri dikenal sebagai seorang wali yang ahli dalam bidang politik ketatanegaraan.

Sunan Giri dipercaya meletakkan dasar-dasar kerajaan masa perintisan atau ahlal-halli wa al-‘aqd (sebuah lembaga atau dewan yang berwenang dalam memutuskan tentang pengangkatan seorang pemimpin dalam sistem politik Islam/ semacam DPR dalam era pemerintahan modern) di kerajaan Demak Bintoro.

 

Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga memiliki nama asli Raden Said.

Ayahnya adalah Arya Wilatikta, dan ibunya bernama Dewi Retno Dumilah.

Sebuah sumber sejarah menyebutkan bahwa Raden Said remaja dikenal sebagai seorang bangsawan namun menjalani kehidupan rakyat biasa dan beliau dikenal mampu membaur dengan berbagai golongan termasuk rakyat jelata sekali pun.

Kala itu banyak pejabat yang memungut upeti dari rakyat tetapi tidak disetorkan ke kerajaan.

Lalu Raden Said pun memberikan nasihat keras kepada para pejabat pemerintah yang korup agar memberikan sebagian besar hartanya kepada orang-orang miskin.

Bagi rakyat miskin, tentunya Raden Said dianggap sebagai sosok pahlawan, namun disisi lain tindakan ini memicu kegaduhan didalam istana.

Hal ini membuat beliau diusir oleh ayahnya sendiri karena dianggap telah meresahkan masyarakat dan orang orang dalam lingkaran pemerintahan kerajaan.

Setelah diusir dan berkelana seorang diri itulah, Raden Said bertemu dengan Sunan Bonang, yang kemudian menjadi gurunya.

Setelah menyerap ilmu dari Sunan Bonang, Raden Said lantas berguru kepada Sunan Gunung Jati di Cirebon.

Beliau pun berguru kepada para wali yang lain, sehingga meskipun beliau adalah wali yang termuda, manun merupakan murid yang paling pandai.

Strategi dakwah yang dilakukan Sunan Kalijaga ini adalah dengan akulturasi budaya, dimana tidak langsung dihapuskan atau diganti begitu saja budaya lama, namun diselipkan nilai-nilai Islami.

Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai seorang dalang yang mahir memainkan wayang kulit.

Dengan media ini Sunan Kalijaga mampu menarik perhatian banyak orang untuk berkumpul, menyaksikan dan mengadakan pertunjukan wayang.

 

Sunan Muria

Sunan Muria memiliki nama asli Raden Umar Said atau Raden Prawoto.

Beliau merupakan putra dari Sunan Kalijaga dan Dewi Sarah binti Maulana Ishak.

Wilayah dakwah dan penyebaran Islam yang dilakukan oleh Sunan Muria adalah di pantai utara Jepara.

Beliau dikenal sebagai wali yang mahir dalam memainkan alat kesenian dan sekaligus ia pergunakan untuk media dakwahnya.

Selain itu beliau merupakan seorang wali yang gemar berdakwah di desa-desa terpencil, bahkan di pelosok desa yang jauh dari pusat kota.

Sunan Muria memiliki kontribusi yang sangat besar dalam penyebaran Islam di tanah Jawa.

Metode dakwah yang dilakukan pun tidak jauh berbeda dengan yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga, yaitu tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang kulit sebagai sarana dakwah.

Sunan Muria juga menciptakan tembang Sinom dan Kinanti sebagai media dakwah.

Para sejarawan menggolongkan pola dakwah Wali Songo menjadi dua tipe yaitu:

  • Golongan Abangan, dengan menggunakan cara-cara yang moderat, lunak dan menggunakan media kesenian dan kebudayaan serta tradisi yang sudah ada di masyarakat dan menyisipkan dan menyesuaikannya dengan nilai-nilai dan ajaran Islam.
  • Golongan Putihan, menggunakan metode yang langsung bersumber dari Al-Qur’an dan sunah, pedoman umat Islam pada umumnya.

 

Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati memiliki nama asli Syarif Hidayatullah.

Beliau adalah putra dari Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, dari seorang ibu bernama Nyai Rara Santang.

Pada masa remaja beliau memperdalam ilmu agama dengan berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri dan Syekh Ataullahi Sadzili di Mesir, lalu melanjutkan belajar ilmu tasawuf ke Baghdad.

Pada usia 27 Tahun barulah kembali ke tanah Jawa dan tinggal di Caruban di dekat wilayah Cirebon.

Sunan Gunung Jati adalah seorang wali yang memberikan banyak kontribusi untuk penyebaran agama Islam.

Kala itu beliau pernah mengunjungi Prabu Siliwangi, kakeknya di Kerajaan Pajajaran untuk masuk Islam namun ditolak.

Setelah dari Pajajaran, Sunan Gunung Jati melanjutkan perjalanan dakwahnya ke wilayah Serang.

Kemudian pergi ke Demak bersama Sunan Ampel.

Setelah dari Demak, beliau kembali ke Cirebon dan diangkat menjadi Raja.

Dalam kedudukannya sebagai raja, Sunan Gunung Jati membuat kebijakan tentang pajak yang jumlah, jenis dan besarannya disederhanakan agar tidak memberatkan rakyat.

Beliau juga membangun Masjid Agung Sang Ciptarasa dan masjid-masjid Jami’ di wilayah Cirebon.

Adapun ragam metode dakwah yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati dalam proses Islamisasi tanah Jawa adalah sebagai berikut:

  • Metode muidlah hasanah/nasihat-nasihat yang baik
  • Metode al-hikmah/menggunakan cara-cara yang bijaksana
  • Metode tadarruj/berjenjang, tingkatan belajar seorang murid (pesantren)
  • Metode ta’awun yaitu saling tolong menolong dan berbagi ketugasan dalam menyebarkan agama Islam di kalangan para wali
  • Metode musyawarah untuk membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan tugas dan perjuangan dakwah para wali
  • Pembentukan kader dai.

 

Apabila kalian sudah cukup memahami materi ini, coba juga latihan soal materi ini pada link dibawah ini:

 

Latihan Soal PAI Kelas 10 Bab 10 Kurikulum Merdeka

 

Sekian rangkuman yang dapat Admin bagikan kali ini tentang rangkuman Materi PAI Kelas 10 Bab 10 Kurikulum Merdeka.

Jangan lupa share ke teman teman kalian apabila kalian merasa artikel ini bermanfaat untuk kalian.

Selalu kunjungi Portal Edukasi untuk rangkuman materi lainnya ya.

Baca Juga: Rangkuman Materi Seluruh Pelajaran

4.1 20 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
error: Maaf Dilarang Copas Ya :)
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x